Indramayu – Giri Suprapdiono menyebutkan bahwa ia telah menerima Surat Keterangan (SK) pemecatan pada, Rabu, (15/9/2021).
“Hari ini kami mendapatkan SK dari pimpinan KPK. Mereka memecat kami! Berlaku 30 September 2021,” kata Giri melalui twitternya, Rabu, (15/9/2021).
Giri kemudian menamai pemecatan pegawai KPK pada, 30 September itu dengan Gerakan 30 September Tes Wawasan Kebangsaan (G30STWK).
Giri sendiri termasuk salah satu pegawai yang didepak dari KPK bersama dengan 56 orang lainnya termasuk Novel Baswedan, penyidik senior.
Lantas bagaimana nasib pemberantasan korupsi di lingkungan Kabupaten Indramayu?
Nasib Korupsi di Indramayu
Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), O’ushj dialambaqa mengatakan upaya pemberantasan korupsi di Kabupaten Indramayu tidak dapat dirasionalisasikan.
“Sungguh sulit kita dibayangkan dengan imaji liar sekalipun dan bahkan logika pun tidak mampu merasionalisasikan atas takdir sosial pemberantasan korupsi di Indramayu,” kata O’ushj kepada tjimanoek.com, Rabu 22 September 2021.
O’ushj mengaku sebagai penggiat korupsi merasa sudah ngeri melihat pemerintah daerah (pemkab) yang baru. Sebab, masih sangat terbuka kesempatan untuk melakukan korupsi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
“Realitas empiriknya, bahwa saya dan atau PKSPD sebagai penggiat anti korupsi yang sudah lebih 20 tahunan, justru merasa dan sangat terasa makin mengerikan dan bahkan makin nyeri saja hingga kini, sekalipun rezim penguasa sudah berganti, di tangan rezim penguasa baru, kita masih menjadi lumbung korupsi,” katanya.
“Lahan korupsi masih terbuka lebar dan masih menghasilkan panen korupsi yang fantastis oleh banyak pihak yang berkepentingan,” imbuhnya.
Apalagi, tambah Oushj, KPK ingin memecat pegawainya pada 30 September 2021. “Kengiluan dan kenyerian itu ditambah dengan fakta realitas empiris pula bahwa sejarah kelabu KPK dengan peristiwa G30S-TWK, berdampak serius dan fatal terhadap pemberantasan korupsi di era rezim penguasa baru (red: Pemerintah Indramayu) sekarang ini,” tuturnya.
G30S-TWK KPK
Ooh, begitu sapaan akrabnya, mengatakan G30S-TWK bukan hal yang mengejutkan bagi pegiat anti korupsi seperti dirinya. Apalagi jika mengingat upaya pelemahan KPK yang lalu. “Sejarah kelam atau kelabu G30S-TWK bagi para penggiat anti korupsi, sesungguhnya bukan hal yang mengejutkan atau mengagetkan atas keabsurditasan KPK,” kata Ooh.
Lanjut, “Hal itu bisa kita tarik tenun benang merahnya atas pondasi KPK yang dirobohkan dengan UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK itu sendiri, hasil permufakatan pelemahan KPK yang menganut kebenaran konsensus seperti yang dikatakan Jurgen Habermas, dengan politik post trut nya kemudian harus dikatakan sebagai penguatan KPK, yang direpresentasikan Istana dan Senayan,” katanya.
“Dengan sejarah kelam atau kelabu atas G30S-TWK yang menghidupkan kembali ingatan kolektif atas sejarah kelam bangsa dan negara, karena fakta dan realitasnya KPK memilih 30S yang jika kita melakukan pembacaan sosiologi politik adalah G30S-PKI. Pilihan titik kulminasi tersebut, membuat tak bisa terbantahkan lagi jika kemudian Giri Suprapdiono dan kawan-kawan menstigmanya dengan G30S-TWK. Peristiwa G30S-PKI dan G30S-TWK/KPK juga membuka kembali memori ingatan kita terhadap sejarah kelam dan atau kelabu tentang “sejarah kebudayaan yang kelam dan atau kelabu” yang juga banyak menelan korban; Manifes Kebudayaan vs LEKRA-PKI dengan Manipol Usdeknya Soekarno yang kiri (Marxis-komunis),” kata Oushj dialambaqa kepada tjimanoek.com, Rabu 22 September 2021.
Ia merasa pesimis akan upaya pemberantasan korupsi di lingkungan pemkab Indramayu. Pasalnya setiap ada laporan kemudian dimentahkan begitu saja, baik di kepolisian maupun kejaksaan.
“Untuk itu, berangkat dari pesimistik tulen akan pemberantasan korupsi di Indramayu dengan KPK sekarang ini, kita tetap saja harus berbondong-bondong menyerbu, mendesak dan memaksa KPK untuk menerima laporan-laporan korupsi dan menindaklanjutinya, karena kita masih belum sembuh untuk menaruh kepercayaan publik pada institusi Kejaksaan dan Kepolisian hingga kini. Bukan tanpa sebab akibat kausalitas, karena realitas empiriklah yang bicara pada kita semua, penggiat anti korupsi. Menafkikan realitas sejarah, berarti kita menafikkan kebenaran sejarah yang mensejarah,” katanya.
Ooh menduga bahwa pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dinahkodai Nina Agustina, tidak serius dalam hal pemberantasan korupsi. “Untuk itu, kita tidak perlu terlampau berharap agar kita tidak kecewa apalagi hingga sampai frustasi atas takdir sosial bahwa “Kekuasaan” rezim penguasa sekarang ini sungguh-sungguh tidak serius melakukan pemberantasan korupsi, baik di pusat apalagi di daerah,” beber Ooh.
Dirinya tidak melarang setiap masyarakat atau pegiat anti korupsi untuk bermimpi agar KPK seperti yang dulu. Yang giat melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan), tetapi perlu langkah konkret agar mimpi itu tidak sekedar hanya mimpi di siang bolong.
“Boleh saja kita berharap dan bermimpi bisa mengulang sejarah terjadinya OTT KPK, tetapi itu semua tidak akan terjadi jika kita semua hanya bisa berimpi atau mengimpikan sesuatu di siang bolong dari tidur yang mengigau, karena dari peristiwa G30S-TWK tersebut korbannya adalah orang-orang yang oleh publik disebut-sebut sebagai orang yang punya nurani dan idealisme dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Ingatan publik mencatatnya seperti itu,” katanya.
“Oleh karena itu, mister whistleblowers KPK harus terus dijebol oleh kita semua jika kita hendak mengulang sejarah OTT KPK seperti tempo hari,” lanjutnya.
Terakhir, Oushj dialambaqa menjelaskan salah satu alasan mengapa kasus-kasus korupsi yang ada di daerah hampir tidak disentuh, yakni karena tertimbun kasus besar nasional. “Kita coba mulai dari pembacaan yang paling naif hingga imaji-imaji liar kita coba rasionalisasikan dari hal yang absurditas irasional, karena untuk laporan-laporan pengaduan kasus korupsi sekalipun sekontainer berkas dan alat bukti permulaan dan alat bukti petunjuknya, rasanya naif dan muskil (red: sukar) bagi kasus-kasus korupsi di daerah bisa disentuh KPK, karena kasus-kasus besar nasional selalu menimbun kasus-kasus korupsi di daerah. Hanya ada satu lorong alternatif, yaitu dengan menjebol lorong whistleblowers KPK,” tutup Oushj dialambaqa kepada tjimanoek.com, Rabu 22 September 2021.
(PP)