Menulis Kreatif

Home / Hukum / Opini

Senin, 1 April 2024 - 04:01 WIB

Penyidik Keliru: Studi Kasus Penggunaan dan Pemalsuan KTP

Official logo PANJI AKSARA.

Official logo PANJI AKSARA.

TJIMANOEK.COM – Penyidik Kepolisian tidak selalu benar dalam menganalisis sebuah peristiwa. Meski, kesehariannya berkutat pada persoalan-persoalan kriminal atau tindak pidana. Sehingga, bukan sebuah keniscayaan bahwa analisis penyidik selalu benar terhadap suatu laporan pengaduan masyarakat.

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, lebih tepatnya di Pasal 1 angka 10, disebutkan pengertian tentang penyidik—Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Apabila ingin melihat secara luas, penyidik dalam hal ini merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dimana mempunyai fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2).

Berdasarkan fungsi itu, Polri tentu mempunyai posisi penting untuk hadir di tengah-tengah masyarakat guna menyelesaikan problem sosial (problem solving). Sehingga, masalah-masalah sosial, kejahatan, dan semacamnya dapat diselesaikan. Jika fungsi itu tidak berjalan dengan baik, sudah barang tentu menimbulkan gejolak dan rasa ketidak adilan. Bukan hanya itu, negara akan dianggap tidak hadir dalam penyelesaian masalah yang ada.

Duduk Perkara

Kepolisian Resor Indramayu menerima surat laporan pengaduan atas nama Panji Purnama—Pelapor, tanggal 2 November 2023. Surat laporan pengaduan itu menyebutkan bahwa pada tanggal 27 Oktober 2023, Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pelapor digunakan oleh seseorang yang tidak diketahui untuk sewa satu unit kamera DSLR merek Canon seri 1300D dari seorang bernama Citra, Karyawati Cafe Rooftop di Jalan Jenderal Sudirman No. 224, Indramayu.

Hari Minggu, 29 Oktober 2023 dini hari, Pemilik kamera, Citra mendatangi kediaman Pelapor di alamat KTP yang digunakan pelaku. Setelah bertemu itu, pemilik kamera baru menyadari bahwa penyewa bukanlah pelapor.

Seseorang yang belum diketahui identitasnya itu telah menggunakan KTP atas nama Panji Purnama. Tapi, ada beberapa data pribadi yang berbeda/diubah, seperti NIK, tempat dan tahun lahir, bulan dan tahun cetak, foto, dan tanda tangan.

Menurut keterangan Penyidik yang menangani perkara, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Indramayu menyatakan, KTP yang digunakan pelaku tidak terdaftar dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

Penghentian Penyelidikan

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap Tindak Pidana) memuat mekanisme laporan polisi, termasuk mengenai pengertian Laporan Informasi (LI) dan Laporan Pengaduan (Lapdu). Pengertian dari istilah LI dan Lapdu itu sendiri dijelaskan dalam Perkap Tindak Pidana tersebut.

Akan tetapi, LI dan Lapdu itu dapat dikatakan berbeda atau sama tapi tak serupa dengan LP. Secara formal, setiap LP tercatat dan terintegrasi dalam database Polri. Sedangkan, LI dan Lapdu tidak tercatat dalam sistem/database Polri tersebut—hanya berupa tanda terima surat biasa. Meskipun pada intinya (substansi) LP, LI, dan Lapdu merupakan laporan masyarakat yang harus ditindak lanjuti oleh kepolisian mengenai adanya dugaan tindak pidana.

Adanya terminologi LI dan Lapdu itu jelas merupakan keuntungan bagi kepolisian yang sewaktu-waktu secara subjektif dapat memilah laporan mana yang serius ditindak lanjuti dan laporan mana yang hanya basa-basi kepada pelapor. Sebab, data laporan berupa LI dan Lapdu yang masuk itu tidak masuk-bertambah dalam database lembaga kepolisian.

Baca Juga:  Rempang Menulis Air Mata Luka Nestapa dalam Sejarah Kelam (Studi Kasus Proyek-PSN-Rempang Eco City-Xyni-China) Bagian 2 dari 4 Tulisan

Artinya, bisa disimpulkan bahwa angka laporan polisi/kejahatan secara statistik dapat disesuaikan. Karena sangat mungkin penyidik menggantungkan status LI dan Lapdu tersebut, sebelum tahapan ini akan naik ke LP dan Penyidikan.

Pasal 9 ayat (1) Perkap Tindak Pidana menyebutkan, hasil penyelidikan dari adanya laporan berupa LI, Lapdu, dan LP, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa yang diadukan tersebut: tindak pidana atau bukan tindak pidana.

Hal serupa dilakukan pada (dibaca: studi kasus) laporan pengaduan mengenai penggunaan dan pemalsuan KTP tanggal 2 November 2023. Sesuai dengan SOP penanganan, Satreskrim Polres Indramayu melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah lapdu tersebut merupakan tindak pidana atau bukan pada, Senin, 4 Maret 2024.

KBO Satreskrim Polres Indramayu IPTU Karnadi, Kanit 5 Harda IPDA Sutaryo sebagai Penyidik, AIPTU Sayanto sebagai Penyidik Pembantu, dan unsur dari fungsi pengawas serta fungsi hukum hadir dalam gelar perkara itu yang menghasilkan keputusan bahwa lapdu mengenai penggunaan dan pemalsuan KTP tidak ditemukan peristiwa pidana.

Berdasarkan hasil gelar perkara tersebut, selaku Penyidik Unit 5 Harda Satreskrim Polres Indramayu yang menangani perkara, IPDA Sutaryo kemudian menghentikan penyelidikan terhadap laporan pengaduan tanggal 2 November 2023 (sudah berproses 3 bulan) itu melalui Surat Nomor: B/182/III/2024/Reskrim tanggal 4 Maret 2024.

Di dalam surat pemberitahuan penghentian penyelidikannya, penyidik menyatakan menghentikan penyelidikan dengan alasan belum ditemukan adanya peristiwa pidana. Oleh karenya, sejak tanggal 4 Maret 2024, Kepolisian tidak lagi melanjutkan penyelidikan atas perkara penggunaan dan pemalsuan KTP.

Atas dasar penghentian penyelidikan tersebut, Pelapor mengirimkan Surat Keberatan Nomor: 01/PP/III/2024 tanggal 18 Maret 2024 kepada atasan penyidik dengan beberapa alasan yang pada pokoknya menyebutkan bahwa penyidik keliru dalam menilai dan memutuskan mengenai ada tidaknya peristiwa pidana/tindak pidana.

Kekeliruan Penyidik

Pelapor dalam surat laporan pengaduannya menilai tindakan yang dilakukan pelaku merupakan tindakan penyalahgunaan data pribadi orang lain dan/atau menggunakan/membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Pasal 66 menyatakan, “Setiap orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.

Penyidik Pembantu, AIPTU Sayanto menyatakan, penyidik hanya mengkaji ketentuan Pasal 66 UU PDP tanpa melihat undang-undang lain yang relevan. Bukan hanya itu, penyidik mengatakan bahwa Pelapor tidak mengalami kerugian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66. Oleh karena itu, penyidik menganggap bahwa seharusnya yang membuat laporan adalah pemilik kamera, korban yang mengalami kerugian materiil.

Menarik untuk mencermati penilaian penyidik Satreskrim Polres Indramayu yang menyatakan tidak ada kerugian bagi pelapor dan hanya melihat ketentuan Pasal 66. Pasal 66 memiliki beberapa unsur di dalamnya, yaitu: “membuat atau memalsukan” yang “dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.

Baca Juga:  Bupati Nina Lantik Dirut PDAM, Oushj Dialambaqa: Rezim Penguasa Seumur Jagung

Sebelumnya, di duduk perkara dijelaskan bahwa terduga pelaku menggunakan KTP palsu untuk sewa kamera milik Citra. Tindakan pelaku yang menggunakan identitas palsu tersebut harus patut diduga adalah seseorang yang sama yang membuat atau memalsukan dokumen kependudukan berupa KTP tersebut. Maka, unsur di dalam Pasal 66 telah terpenuhi. Adapun setelah pelaku tertangkap bukan dirinya yang membuat atau memalsukan itu soal lain yang dapat dikembangkan oleh kepolisian.

Kemudian, dalam pasal 66 itu juga menyebutkan kata “dapat”, menurut R. Soesilo (buku berjudul Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, hal 196) mengenai unsur-unsur Pasal 263 KUHP, diksi dapat bisa berarti kemungkinan dari timbulnya suatu kerugian itu sudah termasuk ke dalam unsur. Sehingga, tidak harus ada kerugian yang timbul dahulu untuk bisa melaporkan tindak pidana tersebut.

Belum lagi, kita ketahui bahwa pengertian kerugian itu bukan hanya mengenai kerugian materiil dalam arti uang dan kebendaan. Ada juga kerugian imateriil yang bersifat bukan kebendaan, seperti kehormatan, nama baik, dan semacamnya. Oleh karenanya, unsur kerugian di Pasal 66 itu sudah terpenuhi.

Unsur berikutnya, yakni kerugian “bagi orang lain”. Orang lain dalam ketentuan Pasal 66 itu adalah pihak lain yang berkaitan dengan peristiwa tindak pidana. Dalam konteks ini, orang lain tersebut dapat dimaknai dengan si pemilik kamera bernama Citra.

Perlu dicatat, apabila unsur kerugian itu dimaksudkan kepada Pelapor, tentu bunyi pasalnya akan sama seperti di ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PDP, yang menyebutkan “… kerugian Subjek Data Pribadi”. Maka, tafsir kerugian bagi orang lain menjadi konkret dan tidak multi tafsir lagi, karena jelas kerugian yang dimaksud adalah kerugian bagi orang lain selain subjek data pribadi/pelapor.

Lalu, penyidik membatasi dirinya dengan hanya mengkaji ketentuan Pasal 66 UU PDP. Padahal, ada ketentuan pasal lain yang dapat diterapkan dalam perkara lapdu tersebut. Misalnya, Pemalsuan dokumen/surat diatur di dalam Pasal 263 KUHP, Pasal 96 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), dan Pasal 65 UU PDP.

Kesalahan menafsirkan unsur dalam pasal dan tindakan yang tidak melihat ketentuan undang-undang lain merupakan kekeliruan yang mendasar bagi penyidik kepolisian. Seharusnya, kepolisian dapat melihat suatu peristiwa secara objektif dengan melihat ketentuan pasal secara cermat, baik terkait pasal yang diusulkan pelapor maupun pasal dalam undang-undang lain.

Fakta yang terjadi ini tentu sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi terhadap lembaga penegakan hukum bernama Polri. Mengingat kepolisian adalah lembaga penegak hukum, seperti arloji, yang merupakan satu kesatuan dengan lembaga penegak hukum lain: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakat—criminal justice system (sistem peradilan pidana).

Oleh sebab itu, kemampuan penafsiran penyidik untuk menilai suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan menjadi sangat penting. Karena keputusan penghentian penyelidikan ataupun penyidikan berdampak pada kepastian hukum dan rasa keadilan. (Panji Purnama)

Share:

Baca Juga

sawah, sawah indramayu, sawah dekat tpa pecuk, tpa pecuk indramayu, limbah tpa pecuk

Daerah

Limbah Cemar Sawah, Pemerhati Hukum: Bupati Nina Perioritaskan Penghargaan Bukan Lingkungan
nina, pdam, pdam indramayu, pilkada indramayu, dirut pdam indramayu, kampanye, dua periode, petahana indramayu, nina agustina, ady setiawan, nadi, nina adi, kpm pdam indramayu, pdam nina,

Opini

Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode
bimtek, kades seindramayu, kades indramayu, kepala desa, kuwu indramayu, nina agustina, bupati indramayu, acara indramayu di yogyakarta,

Daerah

Kegiatan Wartawan dan Bimtek Kades Seindramayu Habiskan APBD Hampir 1 Miliar, Bupati Nina Lagi-lagi Melanggar Aturan
oushj, oushj dialambaqa, oo, pkspd, kritik,

Opini

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan-Tolol dan Pengecut) Bagian 1 dari 5 Tulisan
oushj, oushj dialambaqa, oo, pkspd, kritik,

Opini

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan Tolol dan Pengecut) Bagian 2 dari 5 Tulisan
wacana tiga periode, oushj dialambaqa, presiden, presiden jokowi,

Opini

Wacana Inkonstitusional Merayap dalam Senyap
ptun bandung, pengadilan tata usaha negara bandung,

Daerah

Tergugat Sampaikan Jawaban, Panji: Kesempatan Saya Menyampaikan Replik
fahri siregar, kapolres indramayu, akbp m fahri siregar, polres indramayu, kasi humas polres indramayu, kanit regident satlantas polres indramayu, iptu praja, iptu supraja, tasim,

Daerah

Seorang Warga Kritik Polisi, Kapolres Indramayu AKBP M Fahri Siregar Bantah Ada Intervensi