TJIMANOEK.COM, Indramayu – Kejaksaan Negeri Indramayu bersama Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja (BPR-KR) menandatangi MoU (Memorandum of Understanding) terkait Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN) pada, Selasa, 14/12/2021.
Kepala Kejaksaan Negri Indramayu, Denny Achmad menegaskan bahwa MoU tersebut tidak terkait Unsur Pidana. “Dalam Undang-Undang Kejaksaan pasal 30 ayat 2, kejaksaan memiliki kewenangan untuk melaksanakan Pendampingan Datun baik Litigasi maupun Non Litigasi di persidangan, termasuk juga kita punya kewenangan pendampingan hukum, pelayanan hukum, dalam hal penyelamatan keuangan negara,” ungkap Denny.
Sementara itu, Direktur Utama PD BPR Karya Remaja, Suyanto berharap kedepan dengan adanya MoU tersebut kredit bermasalah akan berangsur berkurang. “Dimana nanti pihak Kejaksaan bisa ikut menyelesaikan kredit-kredit bermasalah yang ada di BPR Karya Remaja, semoga kedepan kredit bermasalah akan berkurang dengan adanya pihak dari kejaksaan untuk membantu,” pintanya.
Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), O’ushj Dialambaqa mengatakan bahwa benar apabila Kejaksaan mempunyai kewenangan pendampingan datun karena itu diatur dalam undang-undang kejaksaan. “Dalilnya benar bahwa Kejaksaan punya kewenangan dalam pendampingan Datun baik litigasi maupun non litigasi sesuai psl 30 ayat 2 UU tentang Kejaksaan tersebut,” kata Oushj kepada MCB, Kamis, (16/12/2021).
“Kejaksaan mendalilkan untuk memberikan advis atau pandangan hukum baik diminta maupun tidak diminta setelah adanya MoU tersebut. Itulah penjelasan Kasi Pidsus dan Kasi Intel waktu Kejaksaan menandatangani MoU dg PDAM waktu itu, dan hal tersebut penjelasannya kepada Direktur PKSPD. Nah, dalil itu yang dipegang sebagai argumentasi, apologi dan alibi adanya MoU tersebut, begitu juga MoU dengan BPR KR,” sambungnya.
Ia kemudian menanyakan urgensi atau hal yang mendesak untuk dilakukannya MoU tersebut antara dua lembaga itu. “Pertanyaannya, apa urgensinya jika dalilnya seperti itu? Jika fakta dan realitasnya, ternyata yang tak bisa terbantahkan, baik MoU denga PDAM maupun BPR KR, toh tetap melanggar regulasi dalam banyak hal hingga sekarang. Jadi urgensinya apa? Tidak ada, jika begitu,” beber Oushj Dialambaqa.
Lanjutnya, “Pentingkah? Penting menurut mereka: pihak Kejaksaan, PDAM dan BPR KR atau Pemkab, tapi bagi publik itu sangat tidak penting karena urgensinya amat sangat naif. Contoh Dirut baru PDAM DR. Ir. Ady Setiawan, S.H,M.H, sekarang regulasi ditabrak atau tetap dilanggar. Toh, Kejaksaan diam saja atau membisu, konon diminta atau tidak diminta memberikan advis dan pandangan hukumnya, baik Datun maupun pidana, tipikor. Begitu juga dengan BPR KR, yang tetap mengabaikan kriteria perbankan 5C dan atau dg 7C-nya. Jadi urgensinya apa jika begitu? Omong kosong dan pepesan kosong. Itu yang ada dan yang terjadi hingga saat ini,” kata Oushj.
“Pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan adanya MoU tersebut, APH yang posisinya yudikatif bisa melepaskan conflic of interest (konflik kepentingan)? Apakah APH yg merupakan bagian nukleous dari sistem birokrasi dan sebagai birokrat, termasuk PDAM, BPR KR dan Pemkab, lantas apa APH dg sistem birokrasinya bisa melepaskan hubungan emosional dan relasi kuasa, dan bisa menjamin adanya independensi? Sungguh naif jika kita membaca mentalitas birokrasi dan birokrat saat ini dan atau aparatus negara saat ini. Nyaris semua tenggelam dan amblas dalam hubungan emosional, relasi kuasa dan seterusnya. Fakta dan realitasnya korupsi dan perkorupsian dan perselingkuhan kasus terus terjadi bahkan makin menjadi-jadi, terutama di kita ini,” bebernya.
Menurut Oushj, mentalitas apartur penegak hukum kita patut dipertanyakan. “Maka itu yang kita katakan tidak ada urgensinya. Apa sebab, mentalitas mayoritas bangsa kita ini, jika sudah pernah makan minum bersama dan atau telah minum kopi bersama, bersemayamlah hubungan emosionalnya, dan amblaslah independensi dan integritasnya. Itu soalnya, yang tak terbantahkan lagi dan hal itu yang menjadi keniscayaan saat ini,” kata Ooh, sapaan akrab Oushj Dialambaqa.
Ia menilai apa yang menjadi latar belakang dan tujuan akhir dari adanya penandatangan nota kesepahaman tersebut. “Jika kita membongkar pembacaannya dengan pendekatan teori motif, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa MoU tersebut adalah untuk menjaga hubungan emosional kedua belah pihak yang muaranya dari sisi motif tersebut adalah mengamankan jika dikemudian hari ada persoalan kasus-kasus tipikor yang dilaporkan publik. Jika hanya ada perkara gugatan perdata, tentu amat remeh temeh karena tidak ada resiko buat dirinya masuk penjara. Resiko perdata menjadi tanggung jawab keuangan BPR KR atau PDAM, Itu urgensi pokoknya, jika kita membongkar dengan teori motif. Jadi gamblang membaca tujuan atau goal akhirnya. Tak perlu sekolah tinggi dan atau pendidikan intelejen, juga gamblang motifnya,” ungkap Oushj.
“Pertanyaan terakhirnya, apa Kejaksaan tidak bisa membaca bahwa setelah MoU pun ditandatangani, BPR KR tetap melanggar kriteria 7C; Character, Capital, Capacity, Collateral, Condition of Economy, Contraint dan Coverage. Jika Kejaksaan tidak percaya, silakan bongkar arsip dokumen kreditur dan atau debiturnya hingga sekarang,” sambungnya.
Terakhir, Oushj mengatakan, MoU antara Kejaksaan Indramayu dengan BPR KR itu tidak ada urgensinya sama sekali. “Bukannya Direktur BPR KR Yanto (Sugianto) tidak tahu dan atau tidak paham, pastilah itu paham, karena yang ikut menguji kemampuannya menjadi Direktur BPR dan atau Direktur Cabang BPR KR itu adalah BI (Bank Indonesia) yang melakukan fit & proper testnya. BPR KR sebagai rumpun perbankan, minimal tiap tahun memberikan Laporan Keuangannya (Neraca dan Laba-Rugi) ke BI dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Jadi pastilah tahu dan paham soal-soal keperdataan dan soal-soal mana yang mengandung unsur-unsur tipikor dalam proses perkreditan atau pencairan pinjaman. Maka, ini soalnya, kita katakan MoU tersebut tidak ada urgensinya, kecuali motifnya untuk mengamankan jika ada kasus yang dilaporkan publik ke APH, lainnya omong kosong itu semua,” pungkas Direktur PKSPD, Oushj Dialambaqa di Singaraja. (Tim/MCB)