TJIMANOEK.COM – Divisi Profesi dan Pengamanan Internal (Divpropam) Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) berhasil dan sukses menghasilkan lelucon dari proses penanganan laporan masyarakat terhadap Kapolres Indramayu AKBP M. Fahri Siregar yang saat ini sebagai Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya.
AKBP M. Fahri Siregar (selanjutnya disebut sebagai Polisi Terlapor), NRP. 81080644, terindikasi melakukan pelanggaran kode etik dan profesi Polri. Bahkan, ada unsur tindak pidana korupsi di dalam materi aduan pengadu ke Kapolri. Tapi, lagi-lagi, hasilnya sudah dapat ditebak tanpa Anda harus selesai membaca tulisan ini. Lelucon bukan?
Mari kita kilas balik pada masa awal Polisi Terlapor menduduki jabatan Kapolres Indramayu, Januari 2023. Saat itu, ia dengan percaya diri mengatakan berkomitmen untuk membenahi kinerja Polres Indramayu, baik terhadap internal maupun eksternal. Sehingga, komitmen itu yang perlu diuji dan dibuktikan—apakah hanya bualan semata ataukah benar adanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, komitmen tersebut dapat terjawab apa adanya, tanpa ada riasan citra baik di wajahnya (dibaca: Polri). Saat itu, terdengar dari toa masjid yang berbunyi nyaring, “… petugas pelayanan SIM dari Polres Indramayu sudah hadir di balai Desa Tegalurung sedang melayani masyarakat dalam pembuatan SIM baru maupun perpanjangan. Mangga Bapak-bapak, Ibu-ibu, pemuda maupun pemudinya yang bikin SIM atau yang ada minat untuk membuat SIM …“.
Toa masjid yang merupakan saksi bisu itu hanya salah satu dari sekian banyaknya persoalan yang ada di Polres Indramayu (lagi, dibaca: Polri). Kita, masyarakat dianggap bodoh dan tuli, dianggap tidak bisa membedakan mana baik dan buruknya, hina sekali kita ini di matanya. Sungguh lelucon bukan?
Keleluconan itu dipersembahkan Polri dengan menyatakan, “… dengan hasil belum ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik profesi yang dilakukan oleh AKBP M. Fahri Siregar, S.H., S.I.K., M.H. selaku Kapolres Indramayu beserta anggotanya”.
Padahal, di Polri, lebih tepatnya yang menangani anggota Polri, yaitu Divpropam Polri, mempunyai pilihan untuk bisa menuntaskan persoalan tersebut. Menurut Pasal 17 ayat (1) Perkadiv No. 1 Tahun 2015 tentang Standar Operasional Prosedur Penyelidikan Pengamanan Internal di Lingkungan Polri, Penyelidik di Biro Paminal Divpropam Polri dapat melakukan penyamaran untuk memperoleh/mengumpulkan bukti-bukti terhadap materi laporan pengaduan.
Lantas, mengapa hasil penanganan laporan terhadap Polisi Terlapor beserta anggotanya disederhanakan dengan menyatakan, “belum ditemukan bukti permulaan yang cukup”. Apabila polri tidak sedang melucu, kita rasa institusi ini dapat menyelesaikan persoalan dengan paradigma yang baik dan benar, yang secara akademis dapat dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tapi, Polri memilih untuk tidak berparadigma begitu, apa dikata, lelucon bukan?
Tentu, sampai kapanpun, masyarakat tak akan pernah menemukan bukti cukup mengenai aliran dana dari praktik yang lumrah dilakukan Polri di berbagai daerah tersebut. Kalaupun petugas sedang ‘sial’ terekam kamera meminta dan menerima uang suap dan atau pungli (berbagai kasus kerap terjadi), paling-paling yang bersangkutan hanya diberhentikan dari jabatannya. Lalu pimpinan muncul di hadapan kamera dengan mengucapkan permohonan maaf atas apa yang dilakukan anggotanya. Lelucon bukan?
Bagaimana tidak akan dianggap lelucon, persoalan lembaga/korps diselesaikan melalui mekanisme yang melibatkan teman atau kolega dan senior-junior di dalam institusinya. Berharap akan beres? Boleh saja berharap, tapi apakah itu bukan—api jauh dari panggang? Hal inilah yang perlu diperbaiki dari negeri Indonesia tercinta ini.
Seharusnya, Divpropam Polri, dalam konteks ini, lebih berani melihat persoalan ini secara mendalam. Jika ada keinginan memperbaiki institusi. Sebab, fenomena ini sudah seperti gunung es di dalam lautan. Jadi di dalamnya banyak persoalan-persoalan, kemudian pada permukaannya pun tidak diintip—pragmatis. Masyarakat menyodorkan pengaduan dianggap tak cukup bukti, lalu beres. Yaa bagaimana fenomena itu tidak tetap diterapkan—mungkin tanpa perlu sembunyi-sembunyi, apalagi berkedok. Tak akan. Itu namanya persekongkolan di negeri yang penuh dengan lelucon.
Pilihan Editor: Penyidik Keliru: Studi Kasus Penggunaan dan Pemalsuan KTP
PANJI PURNAMA