Indramayu – Kepolisian Resor Indramayu (Polres Indramayu) menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi BPBD Indramayu terhadap anggaran masker tahun 2020 pada, Senin, 22 November 2021.
Dua orang tersangka tersebut ialah eks Plt BPBD Kab. Indramayu, Drs. Dodi Dwi Endrayadi, M.Si dan Plt Sekretaris, Caya. Mereka ditetapkan menjadi tersangka setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif oleh Polres Indramayu pada, Jumat, 19 November 2021 lalu.
“Iya bener, Dodi dan Caya sudah ditahan,” kata salah satu sumber dari Polres Indramayu seperti dikutip dari Indramayu Terkini.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), O’ushj Dialambaqa mengatakan, apa yang dikatakan oleh pengacara Caya telah meracuni pemahaman publik mengenai tindak pidana korupsi.
“Dalam kasus ini, PKSPD ingin mengurai dari statemen DR. KHalimi sebagai pengacara Caya dalam ini yang dilansir Jurnal Pelita, 19/11/2021, hal ini penting untuk diberi catatan khusus dan stabilo atas statemen DR. KHalimi sebagai pengacara Caya yang mengatakan: ‘karena dugaan gratifikasi relatif kecil. Tidak sebanding dengan biaya operasiinal pulang pergi Indramayu-Bandung. Alangkah baiknya jika seorang telah mengembalikan uang yang diduga hasil gratifikasi yang relatif kecil untuk tidak dilanjutkan ke pengadilan’,” kata O’ushj Dialambaqa menirukan ucapan pengacara Caya, Khalimi pada, Selasa, 23 November 2021.
“PKSPD stabilo karena pandangan tersebut meracuni pemahaman publik perihal korupsi dan perkorupsian yang kini menghancurkan negara, sehingga hutang luar negeri semakin menggunung dan membengkak. Pandangan tersebut juga akan meracuni kredo publik soal korupsi,” imbuh O’ushj.
O’ushj menjelaskan, adanya pengakuan pengacara yang seperti itu justru merugikan Caya sendiri, dimana perbuatannya sudah tidak lagi diduga. “Jika telah mengembalikan uang, maka Caya telah mengakui perbuatan korupsinya secara de facto dan de jurenya adalah Majelis Hakim. Jadi hal tersebut mengafirmasi pembatalan atas teks ‘yang diduga hasil gratifikasi’,” jelas O’ushj.
Lanjutnya, “Upaya pengacara intinya adalah meretoratif justice sekalipun mengatakan, dikecualikan atau ada pengecualian untuk kasus korupsi,” tutur O’ushj.
Wajar, O’ushj menambahkan, jika pengacara mengatakan seperti itu, karena pengacara Caya dibayar untuk itu. “Pandangan pengacara atas restoratif justice tersebut dengan argumen kecilnya nilai gratifikasi yang diberikan kepada pejabat BPBD tersebut, ya wajar dia dibayar untuk ngomong seperti itu, sekalipun secara etics dan moralitas teologi, moralitas kebangsaan dan atau orang sekarang dengan gagah mengatakannya mana “nasionalismenya”? Hal tersebut menjadi amat buruk dan bobrok dari kedua kutub sudut itu, disamping secara argumentatif menjadi sangat ngawur, karena dalam Pasal 4 UU Tipikor, pengembalian uang tidak menghapus pidananya,” tegas O’ushj Dialambaqa.
O’ushj tetap berharap agar Aparat Penegak Hukum tetap berintegritas dan menjaga indepensinya. “Untuk itu, penyidik, dan JPU dan Majelia Hakim nanti, tidak perlu terganggu independensinya dalam melakukan penanganan kasus tersebut,” harapnya.
O’ushj menjelaskan, bahwa uang yang dikembalikan tersebut setelah masuk ke dalam tahap penyidikan di Kepolisian. Ia mengendus tidak adanya itikad baik dari tersangka. “Dan patut dicatat, pengembalian uang tersebut setelah dilakukan penyidikan, bukan peristiwa hukum tersebut terjadi setelah kasus tersebut ramai diberitakan media dan atau sebelum adanya proses penyidikan. Jadi itikad baik saja untuk mengembalikan uang haram tersebut tidak ada dari tersangka,” beber O’ushj.
“Dalam posisi terjepit untuk mengemis iba kepada penyidik, dan mengemis iba untuk keringanan dakwaan, penuntutan dan vonis Hakim, yang kemudian dicoba didramatisir pengacaranya dalam lakon ketoprak kasus korupsi: tidak sebanding dengan biaya operasional pulang pergi IM-Bandung atas penangan kasus korupsi,” ujarnya.
Ooh, sapaan akrab dari O’ushj Dialambaqa, mengatakan, para tersangka sampai saat ini belum merasa bersalah. Pasalnya, mereka belum secara terbuka melakukan permohonan maaf kepada masyarakat. “Padahal, yang bersangkutan hingga detik ini tak pernah merasa bersalah apa yang dilakukannya. Hal itu terbukti tidak pernah ada permintaan maaf kepada pemilik kedualatan dan atau pemilik uang tersebut, yaitu masyarakat atau publik,” kata Ooh.
Ooh menyebut, kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau birokrat, tidak dilakukan hanya sekali melainkan berulang kali. “Jika kita melakukan penelitiaan kasus korupsi dan perkorupsian yang serius yang dilakukan para birokrat dan atau pejabat publik, akan ada atau akan memberikan catatan sebagai kesimpulan bahwa para birokrat dan atau para pejabat publik yang dijerat pasal uu tipikor tersebut, pada umumnya korupsinya tersebut telah dilakukan berulangkali,” kata Ooh.
“Jadi mungkin hanya satu hal kasus yang sedang sial saja hingga bisa dijadikan tersangka, terdakwa dan terpidana. Hal lainnya tetap aman tidak terbongkar. Maka efek jeranya untuk tidak akan melakukan korupsi tidak berimbas, nol besar,” tambahnya.
Ooh menyebut, tidak ada pelaku yang baru sekali melakukan kemudian langsung terungkap kasusnya. Para koruptor sering kali bermain dengan APH. “Nyaris tidak ada jika itu baru sekali melalukan korupsinya kemudian sial hingga ke meja hijau. Bahkan para koruptor amat sangat lincah bermain dadu dengan APH, sehingga dibanyak kasus menjadi tenggelam,” ungkap Ooh.
Ia meminta kepada kedua tersangka kasus korupsi refocusing anggaran masker tahun 2020 BPBD Indramayu untuk turut mengungkap orang-orang lainnya yang terlibat. “Setelah Polres (Indramayu) menetapkan status tersangka kepada Caya Kasi Bidang Rehabilitasi dan Rekontruksi dan status tersangka kepada Dodi mantan Plt. BPBD, PKSPD berharap penuh kepada Caya dan Dodi sebagai tersangka untuk tidak menjadi pahlawan kesiangan dalam kasus perkorupsian tersebut,” kata Ooh.
“Jika kita melakukan penelitian soal perkorupsian yang terjadi sekarang ini, nyaris tidak pernah tunggal, dan nyaris selalu beregu atau berjama’ah, sehingga PKSPD sangat berharap kepada kedua tersangka tersebut mau blak-blakan, karena kita sangat yakin ada intelectual dadernya,” imbuhnya.
O’ushj menyarankan keduanya untuk membongkar aktor di balik kasus korupsi ini, sehingga bisa menjadi justice collaborator. “Jika kedua tersangka tidak ingin jadi pahlawan kesiangan, tentu harus bisa membongkar siapa intelecutal dadernya, dan sekaligus keduanya mengajukan JC ( Justice Collaborator),” ucap O’ushj.
Lanjutnya, “JC tentu syaratnya ada intelectual dader, jika tetap disembunyikan, JC tidak akan mungkin didapat. Jika mendapatkan JC tentunya akan sangat menguntung kedua tersangka, hukumannya bisa jadi jauh lebih ringan dan berhak mendapatkan bonus remisi,” kata O’ushj.
Dirinya menduga, kasus korupsi ini tidak hanya melibatkan dua orang saja. “Jika kita melakukan pembacaan perkorupsiannya, seharus Polres tidak hanya kasus tersebut cuma dua tersangka dan atau kasus tersebut tidak bisa dilokalisir pada dua tersangka saja,” jelas O’ushj Dialambaqa.
Ia pun kemudian menjelaskan bahwa pengadaan masker tentu melibatkan banyak pihak, salah satunya adalah pemborong. “Pengadaan masker, tentu ada pemborongnya, dimana harga masker tersebut indikasi kuatnya adanya mark up harga yang fantastik, disamping quota barangnya. Maka mau tidak mau, seharusnya juga bisa dijadikan tersangka, baik yang menyangkut langsung peran kedua tersangka maupun soal mark upnya,” tegas O’ushj.
O’ushj menyinggung kasus pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu yang juga memiliki pemborong sehingga ada peran dari penentu kebijakan. “Pengadaan BOX Dinas Kesehatan sebesar +/- Rp 15 milyar, tentu ada pemborongnya juga, dan tentu ada bagian lain yang terlibat sebagai penentu kebijakan yang merugikan keuangan negara dan atau atas kebijakannya yang menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain,” sindir O’ushj.
“Pengadaan untuk BLUD RS. Sentot senilai ×/- Rp 10 milyar, tentu ada pemborongnya jika itu pengadaan barang dalam bentuk apapun, dan ada penentu kebijakannya yang membuat kerugian keuangan negara dan ada yang diuntungkan atas kerugian negara tersebut,” imbuhnya.
lanjut, “Pengadaan di BLUD RSUD Indramayu senilai ×/- Rp 35 milyar, tentu sama dan sebangun dengan yang terjadi pada Dinkes, RS. Sentot dan di BPBD sendiri,” kata O’ushj.
O’ushj membeberkan, “Jika pemborongnya tunggal, maka yang harus dijadikan tersangka sudah 3 orang, tetapi jika ada 3 pemborong, maka seharusnya tersangkanya menjadi 5 orang,” jelasnya.
“Nah, karena tidak mungkin di Dinkes, RS Sentot dan RSUD Indramayu tidak ada yang terlibat, karena logika dan akal waras mengatakan, bahwa ada pengambil kebijakan atau ada penentu proyek itu, karena usulan kebutuhan pengadaannya tentu dari dalam,” imbuhnya.
Lanjutnya, “Maka seharusnya yang menjadi tersangka sudah minimal 7 orang. Jika ada intelectual dadernya menjadi 8 orang. Belum mata rantainya, jadi minimal 10 orang indikasi kuatnya bisa dijadikan tersangka,” kata O’ushj.
Diretur PKSPD menyadari kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polres Indramayu. Namun, ia berharap agar penyidik menjaga independensi dan integritasnya. “Tapi semua itu adalah Polres yang punya kewenangan untuk itu semua. PKSPD hanya berharap adanya integritas dan indepedensi dari para penyidik dan sungguh-sungguh serius untuk menuntaskan dan membongkar kasus perkorupsian tersebut atas pertanyaan, siapakah intelectual dadernya? Siapa saja yang terlibat dalam mata rantai proyek perkorupsian tersebut. Kita tunggu saja, karena ini ujian integritas dan citra APH Polres,” jelas O’ushj.
“Yang aneh tapi nyata adalah BPK dalam LHP dengan predikat WDP, kasus yang terbongkar publik tersebut kemudian gayung bersambut Pilres, tidak menjadi temuan BPK padahal itu menjadi obyek pemeriksaan BPK,” singgung O’ushj.
“Problem ini yang BPK menjadi sangat rendah public trustnya sebagai garda depan penyelamat keuangan negara. BPK hanya memberikan rekomendasi kepada Bupati Nina hanya untuk 5 item, yaitu: 1. Pengadaan Bansos Sembako Covid senilai Rp 3.443.114.800,00 dengan bahasa Kemahalan Harga Sembako, harus dibaca adanya mark up harga. 2. Belanja modal jalan di PUPR sebesar Rp 1.253.070.024,35 atas kelebihan pembayaran atas 19 paket pengerjaan peningkatan jalan, irigasi dan jaringan. 3. Belanja BBM pada Sekwan DPRD sebesar Rp 126.950.000,00. 4. Belanja modal gedung dan bangunan pada 3 SKPD sebesar Rp 1.014.944.597,56 atas kekurangan volume, dan 5. Realisasi DAK Fisik th 2020 pada Disdik tidak digunakan untuk Sanpras TKN, SDN dan SMPN sebesar Rp 5.549.732.760,00,” ungkapnya.
“Jadi lucu dan menggelikan, dan patut dicatat juga jika LHP BPK dengan predikatnya WDP (Wajar Dengan Pengecualian), tetapi Pengecualiannya sangat materiality dan signifikan, maka sesungguhnya itu adalah sama saja dan atau setara dengan Disclaimer. BPK dalam auditnya menggunakan sampling 5% dari obyek pemeriksaannya,” tutup Direktur PKSPD kepada tjimanoek.com di Indramayu, Selasa, 23 November 2021.
Diketahui, nilai kerugian keuangan negara akibat kasus ini adalah senilai Rp196 miliar. Kasus ini mulai terendus sejak bulan Juli 2021 yang lalu. Namun, sampai saat ini masih dalam tahap penyidikan di Polres Indramayu.
(Tim)